Hukum Organisasi dan Taat pada Pimpinan Organisasi
Membuat organisasi untuk tujuan-tujuan kebaikan
terutama dalam rangka dakwah dan menolong agama Islam adalah sebuah
kebaikan. Namun yang menjadi masalah apakah anggota organisasi wajib taat
kepada pimpinan organisasi sebagaimana wajibnya taat kepada pimpinan negara?
Hukum Organisasi
Membuat organisasi adalah perkara muamalah, dan
muamalah itu hukum asalnya mubah. Dan tentu saja membuat organisasi untuk
dakwah dan menolong Islam adalah bentuk saling tolong-menolong dalam kebaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS. Al Maidah: 2)
Para ulama mengatakan bahwa membuat
organisasi atau yayasan atau perkumpulan dalam rangka kebaikan adalah
hal yang dibolehkan, selama tidak dijadikan sarana tahazzub (fanatik
kelompok), dan tidak dijadikan patokan al wala wal bara’ sehingga
sesama anggota organisasi dianggap teman dan di luar organisasi dianggap lawan.
Syaikh Abul Hasan Al Ma’ribi mengatakan: “Disyariatkannya organisasi, yayasan,
atau perkumpulan sosial adalah perkara yang tidak diingkari oleh siapapun.
Selama aktifitas organisasi-organisasi tersebut dalam rangka menolong,
membelanya dan mendukung al haq. Dengan syarat, anggotanya bebas dari
sifat tahazzub (fanatik kelompok) yang tercela, dan dari finah
harta, dan hal-hal yang memperburuk dakwah di setiap tempat. Adapun jika
aktifitas organisasi ini hanya untuk pencitraan, padahal di balik itu ada
perkataan-perkataan menyimpang seperti mencela para ulama bahwa mereka murji’ah
atau jahmiyah atau mengatakan bahwa mereka itu bodoh terhadap realita umat,
atau organisasi tersebut menggiring umat kepada fitnah terhadap penguasa,
lalu mulailah fitnah takfir dan berakhir dengan pembunuhan, penghalalan darah
dan pengeboman, atau organisasi yang memerintahkan anggotanya untuk berbaiat
sehingga memecah belah kaum muslimin, maka organisasi yang demikian ini semua
bukanlah aktifitas dari organisasi yang baik. Dan tidak selayaknya para donatur
menyalurkan dana-dana mereka pada organisasi-organisasi yang demikian” (Siraajul
Wahhaj Bi Shahihil Minhaj, 99).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menyatakan: “organisasi
jika memang sudah banyak tersebar di berbagai negeri Islam dan dibangun dalam
rangka memberi bantuan dan dalam rangka saling tolong-menolong dalam kebaikan
dan taqwa antar sesama muslim, tanpa diselipi dengan hawa nafsu, maka ini
sebuah kebaikan dan keberkahan. Dan manfaatnya sangat besar. Adapun jika antar
organisasi menyesatkan organisasi yang lain dan saling mencela aktifitas
organisasi lain, maka ini bahayanya besar dan fatal akibatnya” (Majmu’
Fatawa Mutanawwi’ah 5/202-204, bisa dilihat
di http://www.binbaz.org.sa/mat/46).
Dan tidak benar sebagian orang yang menuduh orang yang
ikut dalam organisasi Islami telah terjerumus dalam hizbiyah dan bid’ah yang
tercela. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan: “Organisasi apapun
yang dibangun dengan asas Islam yang shahih, yang hukum-hukumnya diambil dari
Kitabullah dan sunnah Rasulullah sesuai dengan apa yang dipahami orang salafus
shalih, maka organisasi apapun yang dibangun dengan asas ini tidak ada alasan
untuk mengingkarinya. Dan tidak ada alasan untuk menuduhnya dengan hizbiyyah.
Karena ini semua termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “tolong-menolonglah
dalam kebaikan dan taqwa“. Dan saling tolong-menolong itu adalah tujuan
yang syar’i. Dan organisasi ini telah berbeda-beda sarananya dari zaman ke
zaman dan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain.
Oleh karena itu menuduh organisasi yang memiliki asas demikian dengan tuduhan
hizbiyyah atau bid’ah adalah hal yang tidak ada alasan untuk
mengatakannya. Karena ini menyelisihi apa yang dinyatakan oleh para ulama dalam
membedakan antara bid’ah yang disifati sesat dengan sunnah hasanah” (Silsilah
Huda Wan Nuur, no.590, transkrip dari http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=8964).
Oleh karena itu, kita pun melihat para ulama dari
zaman ke zaman mereka juga membuat organisasi diantaranya Al Lajnah Ad
Daimah Lil Buhuts Wal Ifta, Hai’ah Kibaril Ulama, Majma’ Fiqhil Islami,
dll.
Wajibkah Taat Kepada Pimpinan Organisasi?
Secara umum, taat kepada pimpinan
organisasi hukumnya wajib karena hal-hal berikut:
1. Sebagai bentuk taat pada ketentuan yang
disepakati ketika menjadi anggota organisasi.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الْمُسْلِمُونَ عَلَىٰ شُرُوطِهِمْ
“Kaum Muslimin itu wajib mematuhi persyaratan
yang mereka sepakati” (HR. Abu Daud 3594, dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Sunan Abi Daud).
2. Menghindari bahaya
Ketidak-patuhan terhadap pimpinan organisasi bisa
menyebabkan bahaya diantaranya:
- sulitnya mencapai tujuan baik dari organisasi
tersebut
- membuka pintu-pintu perselisihan dan
perpecahan
- hilangnya wibawa pimpinan
- urusan tidak teratur dan menjadi cerai berai
(lihat kitab Akhlaqiyatul Mihnah Fil Islam,
DR. Asham bin Abdil Muhsin Al Humaidan).
Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“jangan membahayakan diri sendiri dan orang lain”
(HR. Ibnu Majah 1910, An Nawawi dalam Al Arbain mengatakan: “hasan”)
3. Pemimpin diangkat untuk ditaati
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا
أَحَدَهُمْ
“jika tiga orang bersafar, hendaknya salah seorang
dari mereka menjadi amir (pemimpin)” (HR. Abu Daud 2609, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Abu Daud).
Para ulama berdalil dari hadits ini bahwa pemimpin
safar wajib ditaati, demikian juga pemimpin dari kumpulan manusia lainnya untuk
mencapai suatu tujuan. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad ketika ditanya mengenai
hukum taat kepada pimpinan organisasi, beliau menjawab: “manusia diperintahkan
untuk memilih amir (pimpinan) dalam safar untuk didengar dan ditaati. Tidak
ada artinya jika pimpinan tidak didengar dan tidak ditaati. Jika demikian maka
adanya kepemimpinan seperti tidak adanya” (Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/32007).
Tidak ada artinya jika pimpinan tidak didengar dan
tidak ditaati. Jika demikian maka adanya kepemimpinan seperti tidak adanya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin juga
menjelaskan: “zhahir hadits ini, bahwa pimpinan itu jika para anggota telah
ridha (ia jadi pimpinan) maka wajib ditaati dalam hal-hal yang terkait dengan
maslahat safar. Karena ia adalah pimpinannya. Adapun hal-hal yang tidak terkait
dengan urusan safar maka tidak wajib taat, semisal dalam masalah pribadi
seseorang anggota” (Syarh Riyadish Shalihin, 4/586).
Dengan demikian, kita juga bisa simpulkan
bahwa ketaatan kepada pimpinan organisasi bukanlah ketaatan yang mutlak,
namun ketaatan yang terbatas hanya pada urusan organisasi. Adapun di luar
urusan organisasi maka tidak ada kewajiban untuk taat. Dalam urusan organisasi
pun ketaatan pada pimpinan organisasi dibatasi oleh syariat, tidak boleh taat
kepadanya pada hal-hal yang bertentangan dengan syariat.
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“tidak ada ketaatan pada makhluk dalam perkara
maksiat kepada Al Khaliq” (dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al
Jami’, 7520).
Namun mengenai ketaatan pada pimpinan organisasi, para
ulama merinci :
1. Jika organisasi tersebut adalah organisasi pemerintah atau milik
pemerintah, maka taat pada pemimpin organisasi ketika itu sebagaimana taat
kepada pemerintah.
2. Jika organisasi tersebut adalah organisasi bukan milik pemerintah (NGO),
maka taat pada pemimpin organisasi wajib namun terbatas pada urusan
organisasi dan tidak sama seperti taat kepada pemerintah.
Syaikh Ubaid Al Jabiri menyatakan: “kepala sekolah
atau rektor universitas, ketaatan pada mereka adalah ketaatan kepada regulasi
yang diberlakukan waliyul amr pada mereka. Dan ini bukanlah ketaatan yang
mutlak, namun ketaatan yang muqayyad. Demikian juga kepala sekolah dan kepala
departemen pemerintah. Adapun keataatan yang mutlak itu kepada waliyul amr.
Adapun mereka-mereka itu, mereka memiliki kekuasaan, namun terbatas pada ruang
lingkup kerja mereka. Demikian juga kepada kampung, kalau tidak salah disebagian
daerah disebut umdatul qaryah, mereka memiliki ruang lingkup yang
terbatas. Maka tidak dikatakan mereka itu memerintahkan atau melarang ini dan
itu, mereka hanya sekedar menyampaikan. Dan kepala kabilah itu hendaknya
dimuliakan dan dihormati, mereka juga ditaati dalam urusan menyatukan kabilah,
bukan dalam semua hal” (Sumber: http://ar.miraath.net/fatwah/5535).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
“jika organisasi itu berasal dari waliyul amr, maka wajib menaati apa yang ia
perintahkan. Karena ia adalah wakil dari waliyul amr, yang wajib ditaati selain
dalam perkara maksiat kepada Allah. Namun jika organisasi itu independen, tidak
ada hubungan dengan pemerintah, maka jika para anggotanya ridha bahwa si fulan
ini jadi pimpinan mereka, maka menaatinya wajib. Namun jika anggotanya
tidak ridha, maka tidak wajib menaatinya.” (Sumber: http://islamancient.com/play.php?catsmktba=21712).
Demikian semoga bermanfaat, wabillahi at
taufiq was sadaad.
—
Penulis: Yulian Purnama
Sumber: Artikel Muslim.Or.Id
Copyright © 2025 muslim.or.id
Tidak ada komentar